“Bienvenido!” Seketika seorang turis tertegun dengan kalimat yang ia baca di papan informasi bandara. Ia menghentikan langkahnya, kemudian mencari petugas bandara untuk meminta penjelasan mengapa ia bisa sampai ke Spanyol. Tak lama berselang datanglah seorang pramugara menghampiri turis tersebut. Gesturnya takut, bingung, gelagapan, tidak mengerti mengapa luapan amarah itu dilampiaskan kepadanya. Tidak ada solusi. Dia telah di Spanyol.
Setelah setengah hari dihabiskan untuk menggerutu, ia memberanikan diri untuk keluar bandara dan mencari buku panduan yang baru. Di detik itu pula dia akhirnya berdamai dengan keadaan, dia mulai membuka diri, mengajak berinteraksi dan bertemu kelompok baru.
Masjid Qarawiyyin, Bahia Palace, Cassablanca, Kasbah Oudaya, Marrakesh yang semula menggelayut di pikirannya sejak lama. Namun pesawat membawanya ke tempat yang berbeda. Tanpa berpikir panjang akhirnya iya membuka gawainya dan mulai mencari informasi tentang Spanyol.
Heiii, ternyata Spanyol ga kalah hebat! Ada Mezquita, Istana Alhambra, Cordoba dan jejak keislamannya, Granada dan lain-lain. Maka ia habiskan waktunya di Spanyol, mengunjungi berbagai tempat, mengambil hikmah dari setiap langkah yang ia tapaki dan mentadabburi segala ciptaan-Nya.
Seandainya ia hanya meratapi nasibnya, mungkin perjalanan itu tak akan memberikan pengalaman baru dan tidak memberikan kebahagiaan apapun. Emosi akan membuatnya buta dan sumpah serapah akan terus terlontar dari mulutnya.
**
Sudah berapa kali mendarat di bandara yang salah? Sudah berapa kali singgah di tempat yang bukan impian kita? Terkadang, manuasia salah dalam mendefinisikan sebuah takdir. Sukses, gagal, sedih, senang, sehat, sakit itu sangat relatif. Sama seperti Spanyol dalam cerita diatas. Bukan berarti sesuatu yang tidak kita inginkan itu merupakan kegagalan atau ketidak adilan Tuhan.
Kita hanya butuh diam sejenak, merenung, mencermati apa yang Allah takdirkan kepada kita, kemudian mulai menyusun langkah baru untuk mencari hikmah lainnya yang ‘berserakan’ di sekeliling kita.
Apakah semua harus berjalan sesuai dengan keinginan kita? Apakah setiap takdir harus sejalan dengan apa yang kita mau? Kadang kala yang membuat kita jauh dengan rasa bahagia adalah definisi kebahagiaan itu sendiri yang kita buat. Padahal, apabila kita mensyukuri hal-hal kecil pemberian-Nya maka dengan mudah kebahagiaan bertandang di hati kita. Kemudian rasa syukur itu berkembang biak dan bertransformasi menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Manusia itu diciptakan sangat terbatas. Terbatas akalnya, pengetahuannya, ilmunya dan segalanya. Maka ranah ‘hasil’ bukan menjadi urusan kita. Al Quran pun tak pernah menyebutkan bahwa Allah akan memberi ganjaran terhadap hasil yang kita peroleh akan tetapi, proses dan usaha yang kita lakukan. Biarkan itu semua menjadi ranah dan kuasa-Nya.
Allah tau mana yang terbaik untuk kita. Serahkan semua kepada-Nya. Tentunya setelah ikhtiar dan doa. Karena pada hakikatnya kitalah hamba-Nya dan tidak patut seorang hamba menuntut apa yang tidak diketahuinya. Wallahua’lam.
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”. (Q.S. At-Taubah: 51)